Maftuhah, S.E, M.M.

“Mengalir saja, nanti kita evaluasi hasilnya. Toh baru kita pertama yang melakukan salah benar tak ada yang tahu!”  Motivasi atau saya lebih senang menyebutnya dengan “saran tindak”, disampaikan kepala sekolah saat ada seorang guru yang menyatakan masih bingung dengan Kurikulum Merdeka.  Sepertinya, yang mendengar kata-kata ini akan sama dengan  reaksi saya :  “Siap laksanakan!” dimulut tetapi dahi menyerngit.

Kurikulum Merdeka yang digaungkan “Mas Menteri” salah satu tujuannya adalah membuat siswa nyaman dan bahagia saat belajar, tidak terbebani patokan nilai atau banyaknya mata pelajaran yang harus mereka pelajari.  Tidak ada patokan nilai artinya siswa dapat menentukan sendiri berapa nilai yang mampu mereka dapat untuk mata pelajaran yang mreka pilih.  Bahagia artinya mereka bebas memilih pelajaran apa yang mereka sukai dan mau mereka pelajari sesuai dengan cita-cita mereka.   Bahagia karena mereka difasilitasi berbagai perubahan model pembelajaran serta pelayanan guru saat mereka belajar di kelas. Sebuah misi yang luar biasa.

Tapi apakah benar demikian?

Setelah satu tahun berjalan, Merdeka Belajar yang selama ini digembar-gemborkan apakah mengandung makna merdeka yang nyata?  Bagaimana implementasi teknisnya ?  Benarkah tidak ada lagi siswa yang terbebani berbagai tugas tanpa makna? Benarkan tugas guru menjadi berkurang dan lebih sederhana?  Pertanyaan-pertanyaan ini harus dibahas dengan kepala dingin dan secangkir kopi lebih baik tentunya.

 Berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri sebagai sekolah angkatan pertama yang melaksanakan Implementasi Kurikulum Merdeka. Mari kita jawab satu-persatu, tanpa menimbulkan luka dan debat kusir panjang diujungnya.

Pertama, kita kupas kesiapan guru dalam implementasi Merdeka Belajar ini.  Setahun berjalan kebingungan, ketidaktahuan mengarah ke ambigu lah yang ternyata bermunculan menjadi keluhan yag lazim terdengar di ruang guru saat  jam istirahat atau saat jam pelajaran selesai.   Syarat memahami siswa dalam Kurikulum Merdeka adalah memahami siswa secara keseluruhan, secara fisiknya, gaya belajarnya, kedewasaan secara mental. Disiapkanlah asesmen diagnostik non kognitif, lalu apakah hasilnya digunakan oleh semua guru?  Tentu saja jawabannya tidak.  Tidak semua guru paham,  apa yang harus dilakukan dengan  hasil tes diagnostik non kognitif tersebut.  Bahkan ada yang tidak tahu bahwa tes tersebut dibuat untuk membantu guru dalam melayani pembelajaran kepada siswa. 

Persiapan  pengajaran, RPP yang kita pahami sebagai sebuah rencana yang dibuat guru sebagai petunjuk urutan mengajar di kelas yang pada kurikulum merdeka disebut denngan istilah “Modul Ajar” belum dibuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang seharusnya. Karena sebagian guru baru memahami “templetnya” saja belum pada realisasinya saat eksekusi di dalam kelas.  Ada yang sudah melaksanakan dengan terbata-bata, ada juga yang menutup mata dan mengajar dengan model lama saja. 

Di sekolah negeri, satu guru bisa melayani lebih dari 5 rombongan belajar dalam satu minggunya, dengan karakter siswa  yang berbeda-beda.  Untuk melakukan pelayanan khusus tentu diperlukan persiapan yang matang dan berbeda di setiap kelasnya.  Sangat membingungkan, sangat menyita waktu.

Dan selanjutnya penugasan siswa, apakah benar jadi lebih sedikit? Bila melihat peraturan yang berlaku siswa hanya memiliki dua tes yang harus diikuti tes formatif dan tes sumatif. Lebih sedikit dari kurikulum sebelunya.  Sayangnya masih ada saja guru yang belum paham perbedaannya dan bagaimana bentuk asesmennya.  Tapi tentu saja ketidaktahuan ini harus dieliminir, berbahaya bila dibiarkan menjadi debat kusir yang tidak ada habisnya.

Apalagi dengan adanya Pelaksanaan P5 ( Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yang sama sekali tidak ada contohnya, petunjuk secara teori tentu saja ada, tapi berapa banyak guru yang mau membaca dan mempelajarinya? Karena kesibukan mempersiapkan bahan ajar dan melayani begitu banyak siswa, kesempatan mempelajari petunjuk pelaksaan tentu saja sangat sedikit.  Tantangan yang sangat berat.

Masalah muncul lagi saat akhir semester, dimana siswa akan menerima raport hasil belajarnya selama satu semester.  Perlukah nilai dicantumkan dalam raport atau hanya berbentuk narasi kemajuan belajar siswa ? Apa yang membedakan raport  kurikulum merdeka dengan kurikulum sebelumnya ? 

Merujuk pada “saran tindak” dari kepala sekolah itulah, yang menjadi patokan kami untuk terus berjalan, walau kadang melelahkan, tapi kami jadikan tantangan.  Demi memberikan pelayanan prima kepada seluruh siswa. Semua pertanyaan-pertanyaan dijawab  dengan diskusi-diskusi panjang yang digelar hampir dua hari dalam seminggu untuk menemukan formula tepat dalam melaksanakan setiap kegiatan pembelajaran.  “Lakukan saja” jadi sebuah Jargon yang menenangkan walau sebetulkan dalam hati bergejolak penuh ketidakpercayaan terhadap tindakan-tindakan yang diambil.

Lalu, kepercayaan diri kami mulai timbul kembali, setelah kami menggelar panen raya  pertama hasil proyek P5 pertama siswa-siswa kelas 10, saat itu.  Sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum Merdeka dan yang belum melaksanakan diundang untuk melihat gelar hasil karya siswa, dan hasil karya guru tentu saja.   Animo yang besar terhadap apa sudah kami lakukan, pujian dan penghargaan dari pengunjung bahkan dari orang tua siswapun sangat membahagiakan kami.

Lelah, letih dan pengorbanan besar selama ini, ternyata kami panen dengan sangat membahagiakan. Mungkin belum merdeka seperti yang dinginkan oleh Ki Hajar Dewantara, Tetapi setidaknya kami telah membuat peta supaya mereka yang belum mencoba tidak terlalu  tersesat. 

Ya mengalir saja, demi membangun generasi bangsa yang hebat, mengalir saja, sungai pasti akan menemukan jalannya ke samudra.

Bandung, 6 November 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *